1. Pendahuluan: Tantangan Baru
Artikel ini adalah pemikiran untuk
merumuskan dan melaksanakan strategi pembangunan pertanian Indonesia
mengingat tantangan (dan peluang) ke depan lebih kompleks dan saling
berkait erat. Pembangunan pertanian Indonesia pada beberapa tahun ke
depan masih akan dihadapkan pada beberapa isu mendasar dan tantangan
baru yang merupakan dampak dari krisis finansial global, lonjakan harga
pangan yang bersamaan dengan lonjakan harga minyak bumi dunia. Sektor
pertanian harus menghadapi faktor eksogen yang terkadang datang
tiba-tiba, seperti: instabilitas atau fluktuasi harga pangan yang luar
biasa tinggi, fenomena perubahan iklim yang mengacaukan ramalan
produksi, serta variabilitas cuaca yang semakin tidak bersahabat.
Pada tingkat makro global, posisi
negara-negara berkembang yang nota bene memiliki jumlah
penduduk lebih besar dari negara-negara maju, masih belum dapat
melepaskan diri dari permasalahan struktural dalam sistem produksi dan
konsumsi, ketahanan pangan, kemiskinan, pengangguran, kualitas
pendidikan dan lain-lain. Ditambah lagi, saat ini terdapat kecenderungan
beberapa negara untuk semakin mementingkan urusan pangan dan pertanian
di dalam negerinya sendiri, bahkan dengan menerapkan strategi proteksi
yang cenderung berlebihan.
Kriteria keberhasilan suatu strategi
kebijakan pembangunan pertanian sebenarnya tidak terlalu rumit, yaitu
apakah terdapat peningkatan kesejahteraan petani atau belum; serta
apakah sektor pertanian telah ditempatkan sebagai landasan pembangunan
ekonomi yang bervisi kesejahteraan dan keberlanjutan dari pembangunan
ekonomi itu sendiri.
Bagi Indonesia, apa pun tantangannya,
strategi pembangunan pertanian dapat dikatakan berhasil apabila mampu
berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga tidak
semata berorientasi pada peningkatan produksi fisik sekian macam
komoditas pertanian, peternakan, dan perikanan. Kriteria keberhasilan
itu seharusnya dapat diukur dari perbaikan tingkat pendapat rumah tangga
petani (dan pelaku di sektor lain), peningkatan produktivitas tenaga
kerja, serta perbaikan indikator makro seperti pengurangan angka
kemiskinan dan pengangguran.
Dalam kosa kata ekonomi, pembangunan
pertanian dikatakan berhasil apabila telah mampu menjadi pengganda
pendapatan (income multiplier) dan pengganda lapangan kerja (employment
multiplier) bagi sektor perekonomian secara umum. Strategi
pembangunan pertanian dikatakan telah berada pada jalur yang benar
apabila sektor ekonomi yang sangat vital itu telah mampu menjadi
stimulus bagi sektor-sektor lain dalam ekonomi untuk secara bersama-sama
tumbuh dan berkembang sesuai dengan proporsi dan fase pembangunan
eknonomi.
2. Prioritas Pembangunan
Pertanian Pemerintah
Sampai pada kuartal pertama tahun 2010
ini, Pemerintah tekah menyelesaikan empat prioritas penting, yaitu (1)
penyusunan peraturan pemerintah tentang usaha pertanian komersial, (2)
pencanangan usaha pangan skala luas (food estate), (3) cetak
biru peningkatan nilai tambah dan daya saing industri pertanian berbasis
pedesaan, dan (4) cetak biru swasembada pangan berkelanjutan. Berikut
ini penjelasan singkat tentang prospek pencapaian dari keempat prioritas
pemerintah tersebut.
Dua prioritas pertama sebenarnya lebih
bersifat administratif-birokratis sebagai acuan untuk melaksanakan
strategi “pengadaan lahan” di atas, yang telah dituangkan dalam suatu
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Pertanian
Komersial yang merupakan penjabaran dari Undang-undang Nomor 12 Tahun
1992 tentang Budidaya Pertanian. Masyarakat hanya berharap bahwa
pelaksanaan dari PP 18/2010 itu tidak boleh terlalu gegabah mengabaikan
agribisnis dan pertanian skala kecil, apalagi jika sampai menggusur.
Dalam kaitannya dengan investasi
agribisnis bidang pangan skala luas (food estate) yang
direncanakan di beberapa tempat seperti: di Merauke, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara, dan mungkin di Kalimantan Tengah, saat ini yang
diperlukan adalah kepastian acuan hukum dan kebijakan yang kondusif.
Apabila hal ini diabaikan maka hasil yang akan dicapai tidak akan sesuai
harapan, bahkan tidak akan dapat membawa kemaslahatan bagi masyarakat.
Misalnya, struktur pertanian di Indonesia akan menjadi lebih timpang,
kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam tersingkirkan, dan
Indonesia akan menuai bencana yang lebih dahsyat.
Dua prioritas terakhir memang lebih
banyak bersifat strategis dan akademis, sehingga mensyaratkan kedalaman
analisis dan akurasi data yang digunakan. Kesalahan atau kealpaan
memperhitungkan dua faktor penting tersebut, juga akan dapat
menghasilkan kinerja sektor pertanian yang tidak secerah yang
diharapkan. Peningkatan nilai tambah akan jauh lebih bermakna jika
disesuaikan dengan proses transformasi dari keunggulan komparatif menuju
keunggulan kompetitif. Nilai tambah akan bervisi perbaikan
kesejahteraan pelaku dan perbaikan ekonomi bangsa jika strategi yang
disusun juga sejalan dengan perbaikan kapasitas pelaku dan peningkatan
skala usaha. Strategi baru ini pasti mensyaratkan perbaikan penguasaan
teknologi dan informasi pasar.
Maksudnya, sektor pertanian ke depan
sangat memerlukan suatu strategi kebijakan dan langkah konkrit berupa
pemberian insentif pajak, akses permodalan dan informasi bagi pelaku
agribisnis yang akan melakukan investasi pada sektor pengolahan dan
pemasaran di hilir. Di sinilah esensi peningkatan nilai tambah (added
value) komoditas pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan
akan sejalan dengan upaya peningkatan keunggulan kompetitif yang
dimaksudkan di atas. Logikanya, investasi di sektor hilir tersebut pasti
akan menciptakan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja terampil dan
berpendidikan tinggi. Aktivitas ini akan menggairahkan ekonomi pedesaan,
tanpa harus bekerja keras membendung arus urbanisasi yang terkadang
didominasi tenaga tidak terampil dan berpendidikan rendah.
3. Strategi Swasembada Pangan
Berkelanjutan
Strategi swasembada berkelanjutan bagi
pangan strategis: beras, jagung, kedelai, gula, dan daging telah mulai
menjadi agenda diskusi publik yang menarik. Pencapaian Indonesia dalam
peningkatan produksi pangan strategis mungkin perlu diapresiasi,
sekalipun masih terdapat kontroversi statistik dan metode penghitungan.
Misalnya, angka resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa
produksi beras pada 2009 mencapai 62,6 juta ton gabah kering giling
atau meningkat 3,71 persen dari 60,3 juta ton produksi tahun 2008.
Kecenderungan yang terus meningkat ini tentu sangat diharapkan untuk
mendukung pencapaian swasembada berkelanjutan.
Karakter produksi beras yang sangat
politis juga perlu menjadi perhatian berbagai pengampu kepentingan,
karena sensitivitas komoditas pangan pokok ini terhadap beberapa
keputusan politis, gejolak harga, manajemen stok, dan beberapa perubahan
yang terlalu radikal. Opsi strategi peningkatan produksi wajib
diteruskan, tidak setengah-setengah atau hanya bertumpu pada strategi
perluasan areal panen (pencetakan sawah-sawah baru), tapi perlu bervisi
peningkatan produktivitas per satuan lahan dan per satuan tenaga kerja
atau dalam konteks peningkatan efisiensi teknis dan ekonomis sesuai
dengan karakter setempat.
Produksi jagung tahun 2009 sekitar 17
juta ton, terutama karena peningkatan luas panen di beberapa sentra
produksi jagung di Sulawesi dan Sumatera, terutama jagung hibrida yang
juga menjadi input industri makanan ternak. Pada tahun 2010 produksi
jagung juga masih diperkirakan meningkat, karena penggunaan benih unggul
jagung hibrida semakin memasyarakat, dan bahkan cenderung telah menjadi
kebutuhan petani. Di luar musim panen Indonesia harus mengandalkan
jagung impor, maka tugas berat pemerintah menjadi lebih berat dalam
stabilitas harga jagung. Jika harga jagung domestik tidak stabil, maka
lonjakan harga pakan ternak menjadi ancaman yang serius, karena
subsektor peternakan unggas ini banyak melibatkan peternak skala kecil
subsisten.
Opsi strategi peningkatan produksi
jagung hibrida sebagai salah satu andalan baru pemenuhan konsumsi jagung
yang terus meningkat perlu memperoleh dukungan dalam kebijakan
pengelolaan air. Berhubung jagung hibrida ini memerlukan relatif banyak
air, maka manajemen infrastruktur irigasi dan drainase menjadi hampir
mutlak, agar tidak terjadi kejutan-kejutan persaingan faktor produksi
dengan padi, kedelai dan palawija lainnya. Dukungan penelitian dan
pengembangan (R&D) yang bervisi pada pengembangan protokol zonasi,
sertifikasi dan standarisasi jagung hibrida akan sangat membantu
mengurangi inefisiensi pada usahatani jagung.
Produksi kedelai tahun 2009 telah
mendekati 701 ribu ton biji kering, suatu peningkatan signifikan
dibandingkan angka produksi tahun 2008 yang hanya tercatat 590 tibu
ton. Namun demikian, pada tahun 2010, prospek produksi kedelai tetap
menghadapi tantangan berat karena faktor internal ekonomi dan kebijakan
di dalam negeri sendiri. Sepanjang produksi dalam negeri masih berada
jauh di atas konsumsinya, maka ketergantungan pada kedelai impor akan
menjadi bom waktu yang membahayakan. Strategi peningkatan produksi
kedelai perlu dilakukan melalui pengembangan benih unggul tahan kering,
varietas kedelai dengan galur murni asli Indonesia, seperti kedelai
hitam Varietas Cikuray, Mallika, dan lain-lain yang mampu mendukung
pengembangan industri pangan, seperti kecap, industri kuliner dan
sebagainya.
Jika Pemerintah tetap meneruskan
kebijakan liberalisasi perdagangan kedelai dan memberlakukan tarif bea
masuk rendah 0 %, maka dampak negatif yang ditimbulkannya adalah
ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor yang makin besar. Ketika
produksi di dalam negeri telah mampu mendekati tingkat konsumsinya,
maka kebijakan proteksi dapat diterapkan, termasuk mengenakan tarif
impor tinggi dan/atau kebijakan kuota sebagai implementasi pencadangan
usaha untuk kemajuan industri mikro kecil dan koperasi. Hal yang perlu
dikedepankan adalah upaya menjunjung tinggi prinsip kemitraan swasta
besar, usaha mikro, kecil dan koperasi dalam kerangka persaingan usaha
yang sehat.
Produksi gula tahun 2009 mencapai 2,84
juta ton yang masih cukup jauh dari total kebutuhan konsumsi gula di
Indonesia yang diperkirakan mencapai 4,85 juta ton. Harga gula dunia
yang melambung tinggi pada awal tahun 2010 ini seharusnya menjadi
insentif tersendiri bagi pelaku ekonomi di sektor gula untuk
meningkatkan produksi dan produktivitasnya. Keputusan impor gula
seharusnya dilandasi taktis-strategis yang jitu agar tidak mengganggu
sistem insentif di atas. Manajemen harga gula di dalam negeri sebenarya
lebih banyak ditentukan oleh mitra dagang atau importir produsen (IP)
untuk mengimpor gula mentah dan status importir terdaftar (IT) dengan 75
persen bahan baku berasal dari tebu petani. Empat BUMN masuk
klasifikasi IT adalah: PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX, PTPN X, PTPN
XI, dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (PT RNI).
Manajemen harga gula juga tergantung
pada tingkah laku beberapa importir strategis dan pelaku industri gula
rafinasi yang mulai menunjukkan perannya pada kinerja fluktuasi harga
gula di dalam negeri. Langkah pencapaian swasembada gula dapat ditempuh
dengan operasionalisasi revitalisasi pabrik gula dapat dilaksanakan
misalnya, dengan pembentukan satu-dua perusahaan induk (holding
company) pabrik gula yang terintegrasi dari kebun tebu di hulu
sampai gula putih di hilir, dan yang memproduksi tebu di hulu sampai
gula mentah di hilir. Langkah audit keuangan dan audit investigasi
lainnya harus dilakukan secara menyeluruh dan akuntabel untuk melihat
apakah spesifikasi dan diversifikasi usaha seperti ini akan lebih baik
atau tidak. Dampak multiplier suatu investasi bagi pembangunan ekonomi
dan kesejahteraan lainnya tidak akan terjadi apabila aransemen
kelembagaan atau kualitas institusi negara masih primitif.
Produksi daging pada tahun 2009 masih
berkisar 2.3 juta ton, dengan dominasi daging ayam ras pedaging yang
demikian besar. Produksi daging sapi hanya 352 ribu ton, sehingga
Indonesia tetap mengimpor sekitar 520 ekor sapi setiap tahun. Produksi
daging sapi, daging ayam dan produk sektor peternakan atau yang menjadi
sumber protein hewani di Indonesia sebenarnya tidaklah terlau besar
untuk memenuhi kebutuhan daging yang masih akan meningkat setiap tahun.
Akibatnya, Indonesia masih harus menggantunkan pada daging impor,
terutama dari Australia, Selandia Baru dan negara lain yang bebas
penyakit hewan, seperti penyakit mulut dan kuku, antraks, dan sapi
gila. Di Indonesia, Revolusi Peternakan ditandai oleh berkembang
pesatnya industri ayam petelur, ayam pedaging, dan ayam kampung sendiri.
Tidak kalah pentingnya, industri pakan
ternak yang umumnya terkait dengan investasi asing dan beroperasi dengan
skala besar juga tumbuh pesat, yang ditandai dengan maju dan membaiknya
tingkat efisiensi, bahkan di seluruh sistem agribisnis berbasis
peternakan. Strategi peningkatan produksi daging dalam negeri dan
perbaikan konsumsi daging sebagai salah satu sumber protein perlu
berjalan bersama-sama. Untuk daging sapi, strategi pengembangan
agribisnis peternakan sapi potong Indonesia perlu terus menerapkan asas
kelestarian (keseimbangan antara pemotongan dan jumlah populasi sapi
potong atau menghindari “pengurasan” populasi), asas kesinambungan
(iklim usaha tetap kodusif dan tidak saling merusak), serta asas
kemandirian (berkurangnya ketergantungan pada daging impor).
4. Penutup:
Langkah ke Depan
Sebagai penutup, pembangunan pertanian
juga wajib meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman perkebunan
dan perikanan yang juga mampu menghasilkan devisa dari prioritas ekspor
selama ini. Misalnya, kelapa sawit Indonesia masih akan terus merajai
pasar dunia, yang kini memperoleh tantangan baru dalam visi
keberlanjutan dan pelestarian lingkungan hidup. Karet, kopi, kakao, dan
lada Indonesia juga kan terus mampu menguasai pasar dunia. Komoditas
perikanan tangkap dan budidaya seperti ikan tuna, cakalang, dan udang
masih akan menjadi andalan ekspor dan perolehan devisa yang dapat
menggerakkan perekonomian.
Strategi utama yang wajib dijalankan
pada komoditas bernilai ekonomi tinggi tersebut adalah bagaimana caranya
agar petani dan nelayan (skala kecil) juga mampu menerima manfaat
ekonomis yang besar agar lebih bergairah dalam meningkatkan
produktivitas dan efisiensinya. Di sinilah strategi pemihakan dari
pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat madani menjadi sangat mutlak
dan tidak dapat ditawar lagi.
Ke depan, strategi peningkatan
produktivitas dan efisiensi itu wajib dikemangkan melalui aplikasi
teknologi baru, yang dihasilkan melalui perjalanan panjang penelitian
dan pengembangan (R and D), serta penelitian untuk pengembangan
(R for D). Dunia usaha dan sektor swasta Indonesia secara umum
perlu secara nyata melaksanakan kemitraaan strategis dengan peguruan
tinggi dan pusat-pusat penelitian pangan, yang sebenarnya tersebut di
segenap pelosok Indonesia. Hanya dengan R-and-D dan R-for-D
inilah, inovasi baru akan tercipta, sehingga daya saing Imdonesia akan
meningkat berlipat-lipat. Dunia usaha atau sektor swasta dapat pula
untuk menjadi aktor terdepan dalam mengembangkan diversifikasi pangan,
terutama yang berbasis pemanfaatan teknologi dan industri pangan.
Diversifikasi pangan yang berbasis kearifan dan budaya lokal akan sangat
kompatibel dengan strategi pemenuhan kebutuhan gizi yang seimbang
sesuai dengan kondisi demografi Indonesia yang plural heterogen. Dalam
hal ini, langkah pengembangan teknologi dan industri pangan disesuaikan
dengan kandungan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal.