Bulan
Ramadhan telah tiba, saatnya kita mendekatkan diri pada-Nya,
memperbanyak amalan-amalan agama, beramal pada sesama, dan saling
membantu karena bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh hikmah dan
pengampunan. Namun, meski sudah jelas disebutkan bahwa Ramadhan adalah
bulan yang penuh hikmah dan pengampunan, masih banyak orang yang dengan
sengaja meninggalkan ibadah puasa tanpa merasa berdosa.
" Aku melihat surga tertutup untukku, digantikan dengan terbaliknya tubuhku, pipi sobek, dan banyak darah."
Tidakkah
mereka mempunyai pikiran bahwa mungkin saja ini adalah Ramadhan
terakhirnya? Sehingga mereka tak lagi bisa menjalankan segala ibadah
yang diperintahkan oleh-Nya.
**
Aku
seorang ibu rumah tangga berumur 35 tahun. Bersama dengan keluarga
kecilku, aku tinggal di sebuah rumah di pinggiran kota Jakarta. Aku
hidup bertiga dengan kedua anakku yang masing-masing berumur 7 tahun dan
5 tahun. Sementara suamiku, telah meninggal dua tahun lalu.
Dulu,
aku dan suamiku adalah orang yang jarang sekali melakukan perintah
agama. Sholat tak pernah, apalagi puasa. Biasanya, aku hanya sholat saat
Idul Fitri, sedangkan puasa, sama sekali tak pernah. Pernah dulu,
waktu aku masih tinggal bersama orang tuaku. Tapi, dasarnya aku, sering
batal di tengah hari karena lapar. Hingga satu waktu itu terjadi, aku
mulai mengubah pemikiranku tentang arti agama yang kuanut.
Saat
itu, aku baru saja pulang dari liburan bersama anak-anak dan suami,
tepat di bulan puasa. Sebuah kecelakaan hebat menimpa kami, dan
mengharuskan kami dirawat di rumah sakit. Aku mengalami gegar otak
ringan, anak-anakku demikian juga, sementara suamiku koma. Benturan
hebat pada kepala yang membentur setir dan pukulan yang keras pada
lambung membuatnya tak berdaya.
Selama
satu minggu suamiku koma. Sedangkan aku dan anak-anakku dalam masa
perawatan intensif. Anak-anakku pulang dan dirawat oleh orang tuaku,
sedangkan aku tetap di rumah sakit menunggu kabar suamiku. Tak ada
perkembangan yang berarti pada suamiku dalam masa perawatan selama satu
minggu. Hingga suamiku tiba-tiba menangis, dan menggerak-gerakkan
tangannya, berusaha menggapai sesuatu. Seketika aku menggenggam erat
tangannya, mencoba menenangkan. Bukannya tangisnya mereda, ia justru
semakin kencang dalam tangisannya.
Saat
itu, aku panik luar biasa. Kutenangkan dirinya dengan tetap
menggenggam tangannya dengan tangan kananku, sementara tangan kiriku
aktif menekan bel untuk memanggil perawat dan dokter.
"Aku
melihat surga tertutup untukku, digantikan dengan terbaliknya tubuhku,
pipi sobek, dan banyak darah." suamiku bicara tegas, sama sekali tidak
menunjukkan bahwa dirinya telah koma selama tujuh hari.
Sementara
dia terus menangis dengan banyak racauan, pelan-pelan kulemparkan
tanya padanya, mengapa dia mengigau seperti itu. Dengan raut wajah
sedih, dia menjawab dengan jawaban yang begitu sungguh-sungguh hingga
membuat dadaku bergemuruh.
"Aku ingin sholat, aku ingin puasa, aku takut tidak mencicip surga."
**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar