Halaman

Selasa, 31 Juli 2012

Mungkin Ini Ramadan Terakhirku [Part 1]

 
Bulan Ramadhan telah tiba, saatnya kita mendekatkan diri pada-Nya, memperbanyak amalan-amalan agama, beramal pada sesama, dan saling membantu karena bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh hikmah dan pengampunan. Namun, meski sudah jelas disebutkan bahwa Ramadhan adalah bulan yang penuh hikmah dan pengampunan, masih banyak orang yang dengan sengaja meninggalkan ibadah puasa tanpa merasa berdosa.
" Aku melihat surga tertutup untukku, digantikan dengan terbaliknya tubuhku, pipi sobek, dan banyak darah."
Tidakkah mereka mempunyai pikiran bahwa mungkin saja ini adalah Ramadhan terakhirnya? Sehingga mereka tak lagi bisa menjalankan segala ibadah yang diperintahkan oleh-Nya.
**
Aku seorang ibu rumah tangga berumur 35 tahun. Bersama dengan keluarga kecilku, aku tinggal di sebuah rumah di pinggiran kota Jakarta. Aku hidup bertiga dengan kedua anakku yang masing-masing berumur 7 tahun dan 5 tahun. Sementara suamiku, telah meninggal dua tahun lalu.
Dulu, aku dan suamiku adalah orang yang jarang sekali melakukan perintah agama. Sholat tak pernah, apalagi puasa. Biasanya, aku hanya sholat saat Idul Fitri, sedangkan puasa, sama sekali tak pernah. Pernah dulu, waktu aku masih tinggal bersama orang tuaku. Tapi, dasarnya aku, sering batal di tengah hari karena lapar. Hingga satu waktu itu terjadi, aku mulai mengubah pemikiranku tentang arti agama yang kuanut.
Saat itu, aku baru saja pulang dari liburan bersama anak-anak dan suami, tepat di bulan puasa. Sebuah kecelakaan hebat menimpa kami, dan mengharuskan kami dirawat di rumah sakit. Aku mengalami gegar otak ringan, anak-anakku demikian juga, sementara suamiku koma. Benturan hebat pada kepala yang membentur setir dan pukulan yang keras pada lambung membuatnya tak berdaya.
Selama satu minggu suamiku koma. Sedangkan aku dan anak-anakku dalam masa perawatan intensif. Anak-anakku pulang dan dirawat oleh orang tuaku, sedangkan aku tetap di rumah sakit menunggu kabar suamiku. Tak ada perkembangan yang berarti pada suamiku dalam masa perawatan selama satu minggu. Hingga suamiku tiba-tiba menangis, dan menggerak-gerakkan tangannya, berusaha menggapai sesuatu. Seketika aku menggenggam erat tangannya, mencoba menenangkan. Bukannya tangisnya mereda, ia justru semakin kencang dalam tangisannya.
Saat itu, aku panik luar biasa. Kutenangkan dirinya dengan tetap menggenggam tangannya dengan tangan kananku, sementara tangan kiriku aktif menekan bel untuk memanggil perawat dan dokter.
"Aku melihat surga tertutup untukku, digantikan dengan terbaliknya tubuhku, pipi sobek, dan banyak darah." suamiku bicara tegas, sama sekali tidak menunjukkan bahwa dirinya telah koma selama tujuh hari.
Sementara dia terus menangis dengan banyak racauan, pelan-pelan kulemparkan tanya padanya, mengapa dia mengigau seperti itu. Dengan raut wajah sedih, dia menjawab dengan jawaban yang begitu sungguh-sungguh hingga membuat dadaku bergemuruh.
"Aku ingin sholat, aku ingin puasa, aku takut tidak mencicip surga."
**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar