Era Orde Baru (1967-1997)
1974:
Dibentuk Badan Litbang Pertanian. Keppres tahun 1974 dan 1979
menetapkan bahwa Badan Litbang Pertanian sebagai unit Eselon I,
membawahi 12 unit Eselon II, yaitu: 1 Sekretariat, 4 Pusat (Pusat
Penyiapan Program, Pusat Pengolahan Data Statistik, Pusat Perpustakaan
Biologi dan Pertanian, dan Pusat Karantina Pertanian) 2 Pusat Penelitian
(Puslit Tanah dan Puslit Agro-Ekonomi), serta 5 Pusat Penelitian
Pengembangan (Puslitbang Tanaman Pangan, Puslitbang Tanaman Industri,
Puslitbang Kehutanan, Puslitbang Peternakan, dan Puslitbang Perikanan).
1980 :
Berdirinya Departemen Koperasi secara khusus, untuk membantu golongan
petani lemah di luar Jawa dan Bali untuk membangun usaha tani berskala
lebih besar. Setelah koperasi diterima sebagai satuan ekonomi yang
mendasar dalam mengembangkan ekonomi pribumi, dirangsang agar semua desa
membentuk koperasi primer, namun demikian sejumlah masalah yang
dihadapi adalah kekurangan modal, manajemen lemah, kesulitan menjangkau
pasaran antara lain karena turut pedagang perantara. Koperasi dirasakan
sebagai “paksaan” sehingga namanya pun yang sudah tercemar perlu dirubah
menjadi BUUD.
1983:
Berdasarkan Kepres No. 24 tahun 1983, terjadi reorganisasi di Badan
Litbang Pertanian sehingga terdiri atas: Sekretariat, Pusat Data
Statistik, Pusat Perpustakaan Pertanian, Puslit Tanah, Puslit
Agro-Ekonomi, Puslitbang Tanaman Pangan, Puslitbang Tanaman Industri,
Puslitbang Hortikultura, Puslitbang Peternakan, dan Puslitbang
Perikanan.
1993:
Sesuai dengan Keppres No. 83 tahun 1993 dibentuk Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) dan Loka Pengkajian Teknologi Pertanian
(LPTP) yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia. Selain itu juga
terjadi pembentukan 2 unit organisasi BPTP di 2 Propinsi, yaitu Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Banten, dan Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Kepulauan Bangka Belitung (Kepmentan No.
633/Kpts/OT.140/12/2003).
Era 1945-1967
1960:
Lahirnya UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(UUPA) yaitu tanggal 24 September 1960. Kelahiran UUPA melalui proses
panjang, memakan waktu 12 tahun. Dimulai dari pembentukan "Panitia
Agraria Yogya" (1948), "Panitia Agraria Jakarta" (1951), "Panitia
Soewahjo" (1955), "Panitia Negara Urusan Agraria" (1956), "Rancangan
Soenarjo" (1958), "Rancangan Sadjarwo" (1960), akhirnya digodok dan
diterima bulat Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), yang kala
itu dipimpin Haji Zainul Arifin. Kelahiran UUPA mengandung dua makna
besar bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pertama, UUPA bermakna
sebagai upaya mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 (Naskah
Asli), yang menyatakan, "Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat". Kedua, UUPA bermakna sebagai penjungkirbalikan hukum agraria
kolonial dan penemuan hukum agraria nasional yang bersendikan realitas
susunan kehidupan rakyatnya. Tujuan UUPA pada pokoknya meletakkan
dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, mengadakan kesatuan
dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, dan meletakkan dasar-dasar
kepastian hukum hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Semuanya
semata-mata untuk mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan, keadilan bagi
negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam menuju masyarakat adil
dan makmur. Sebenarnya apa yang tersurat maupun tersirat dari tujuan
UUPA, pada hakikatnya merupakan kesadaran dan jawaban bangsa Indonesia
atas keserakahan dan kekejaman hukum agraria kolonial.
Era Sebelum kemerdekaan (1900-1945)
1918:
Berdiri Balai Besar Penyelidikan Pertanian (Algemeen Proefstation voor
den Landbouw), yang kemudian semenjak tahun 1949 menjadi Jawatan
Penyelidikan Pertanian, lalu 1952 menjadi Balai Besar Penyelidikan
Pertanian / General Agriculture Experiment Station (Algemeen
Proefstation voor den Landbouw). Selanjutnya tahun 1966 menjadi Lembaga
Pusat Penelitian Pertanian, tahun 1980 berubah lagi menjadi Balai
Penelitian Tanaman Bogor (Balittan), tahun 1994 menjadi Balai Penelitian
Bioteknologi Tanaman Pangan (Balitbio), tahun 2002 menjadi Balai
Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (Balitbiogen),
dan terakhir tahun 2003 berganti nama menjadi Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen)
Era abad ke-19
1811-1816:
Sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh Raffles telah membawa beberapa
persoalan terhadap kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga
perubahan penting berupa sistem kepemilikan tanah oleh desa. Kekecewaan
para feodal terhadap sistem ini telah mendorong lahirnya pemberontakan
kerajaan. Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan Perang Jawa
atau perang Diponegoro.
1830-1870:
Era Tanam paksa (cultuur stelsel) Gubernur Jenderal Johannes van den
Bosch mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%)
untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman
ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah
dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam
setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam
pajak. Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti
karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan
hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan
untuk praktek cultur stelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang
tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di
lahan pertanian. Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam
praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras
dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan
penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada
jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam
tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan
kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan
besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda
pada 1835 hingga 1940. Akibat sistem yang memakmurkan dan
menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas
dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.
1870:
Lahirnya hukum agraria kolonial yang tertuang dalam Agrarische Wet
1870. Dalam aturan ini dijamin adanya Hak Erfpacht sampai selama 75
tahun, dan menjamin pemegang hak itu untuk menggunakan Hak Eigendom,
serta memberi peluang kepada mereka dapat menggunakan tanahnya sebagai
agunan kredit. Lahirnya Agrarische Wet 1870 dipengaruhi dan atas desakan
kepentingan pemilik modal swasta Belanda untuk berbisnis perkebunan
besar di negeri jajahannya. Sebelumnya, di masa culturrstelsel, mereka
hanya dibolehkan sebatas menyewa tanah. Dampak dari hukum kolonial
terhadap rakyat tani Indonesia, hanya menghadirkan sejarah kelam
kemelaratan, kemiskinan, keterbelakangan dan penindasan.
1890:
Dimulainya “Politik Etnik”, yaitu gerakan oposisi kaum sosialis di
Belanda yang kemudian berpengaruh kepada golongan-golongan
Belanda–Hindia juga. Yaitu mulai diterapkan pelayanan kesehatan umum
yang lebih baik, memperluas kesempatan menempuh pendidikan, serta
memberikan otonomi desa yang lebih besar.
Era Reformasi (1998 – Sekarang)
1998:
Departemen Pertanian kehilangan arah. Hal ini dikarenakan pudarnya
Pembangunan jangka Panjang ke 6 yang menjadi ciri khas tahap orientasi
pemerintahan Orde Lama. Pada era ini rakyat sudah kehilangan kepercayaan
kepada pemerintahan, meski tidak semuanya, tapi mendominasi. Dampak
yang ditimbulkannya sangatlah besar. Kegiatan-kegiatan penyuluhan dan
intensifikasi pertanian melambat. Dampak yang ditimbulkannya adalah
rendahnya produktivitas pertanian tanaman pangan dan hortikultura.
2005:
Pada tahun ini muncul rencana Pemerintah dalam melakukan revitalisasi
pertanian di Indonesia. Hal ini ditindak lanjuti dengan UU No.16 Tahun
2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Peternakan dan Kehutanan.
Kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Pertanian No.273 Tahun
2007 terkait tentang penjabaran Penyuluhan Pertanian. Konsentrasi
peningkatan produksi dan produktivitas komoditas pertanian ini
mengantarkan Indonesia mencapai swa sembada beras ke 2 pada tahun 2008.
Hal ini ditunjang dengan penambahan tanaga penyuluh pertanian melalui
Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL TBPP).
2010:
Pertanian di Indonesia mengarah kepada pertanian organik. Pada awalnya
pada tahun ini dicanangkan program pertanian organik, karena banyak hal
tentang kekurangsiapan para petani di Indonesia menjadikan rencana
pertanian organik diundur sampai 2014. Akan tetapi pada tahun 2010 ini
penggunaan pupuk kimia sudah mulai dikurangi, dan pertanian organik
mulai digalakkan di beberapa daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar