Saat ini
kita dapat menyaksikan berbagai peristiwa yang memilukan, sebagai akibat
langsung maupun tidak langsung dari penyakit ini. Jumlah orang miskin
di Indonesia masih tergolong tinggi, ribuan orang terpaksa harus antri
untuk menerima Bantuan Langsung Tunai. Banyak orang harus berduyun-duyun
untuk menerima zakat, yang besarnya tidak seberapa. Di Jakarta
ditemukan sekelompok orang yang terpaksa memakan daging dan makanan
lainnya yang diambil dari tumpukan sampah. Banjir terjadi dimana-mana,
karena hasil hutannya dikorupsi secara besar-besaran. Angka Indeks
Pengembangan Sumber Daya Manusia masih sangat memprihatinkan, karena
dana pendidikan juga tidak luput dari keganasan serangan penyakit ini.
Ketidakadilan dalam hukum masih dirasakan di berbagai belahan wilayah
hukum kita, karena para penegak hukumnya sangat rentan terhadap serangan
penyakit ini. Tentunya masih banyak lagi penderitaan-penderitaan
lainnya. Penyakit ini telah menyerang tubuh mulai dari ujung kepala
hingga ke ujung kaki Di bagian kepala, kita telah menyaksikan jenis
penyakit yang menyengsarakan rakyat ini, sebagaimana diperagakan oleh
oknum anggota DPR, oknum Menteri, oknum Kejaksaan Agung, oknum Bank
Indonesia, oknum Mabes POLRI, dan oknum KPU. Di bagian tubuh tengah atau
sebut saja bagian dada dan perut, kita juga telah menyaksikan oknum
Gubernur dan beberapa pejabat lainnya di tingkat provinsi. Sementara di
bagian kaki, ada beberapa Bupati, sejumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota,
dan sejumlah pejabat lainnya yang berada di wilayah bagian kaki,
termasuk mereka yang berada di bagian telapak kaki.
Sebagian
dari mereka, ada yang sudah jelas-jelas dinyatakan terkena penyakit dan
sedang menjalani pengobatan di beberapa Lembaga Pemasyarakatan dan
sebagian lagi ada yang masih dalam taraf dugaan (suspected) dan
sedang menjalani proses diagnosis. Kendati demikian, tidak menutup
kemungkinan bagi mereka untuk siap-siap menjalani pengobatan pula.
Kanker
ganas yang menyerang bagian kepala biasanya jauh lebih berbahaya,
karena di sana terdapat otak yang berfungsi sebagai pusat pengendali
aktivitas kehidupan Begitu juga dengan penyakit korupsi, korupsi pada
bagian kepala, kerugian yang diderita negara bisa mencapai milyaran
bahkan trilyunan rupiah. Sementara korupsi di tingkat telapak kaki
mungkin hanya bernilai recehan, tetapi ibarat penyakit kanker, meski
berada di bagian telapak kaki dan bersifat recehan, jika dibiarkan tetap
saja akan membahayakan dan merugikan. Kebijakan Otonomi Daerah, yang
semula bertujuan untuk memberdayakan masyarakat di tingkat bawah (grass root),
malah disinyalir telah semakin mendorong tumbuh suburnya korupsi di
bagian kaki ini. Bahkan tingkat bahayanya pun hampir sudah bisa
menandingi penyakit korupsi di bagian kepala.
Begitu
parahnya penyakit korupsi di Indonesia, ternyata tidak hanya terjadi
pada saat berada di dalam negeri atau kampung halaman sendiri, ketika
berada di luar negeri sekalipun, penyakit ini masih terbawa-bawa,
seperti apa yang dilakukan oleh oknum Duta Besar dan Konsulat Jenderal..
Memang sudah sangat keterlaluan cara-cara korupsi yang dilakukan anak bangsa ini, jangan-jangan
suatu saat ketika sedang dijerumuskan ke dalam neraka jahanam pun,
masih ada orang Indonesia yang nekad berbuat korupsi. Akibat
penyakit korupsi yang sudah sangat akut dan kronis ini, maka tidak
mengherankan jika saat ini Indonesia dinyatakan sebagai lima besar negara terkorup di dunia. Sungguh menjadi ironis, ketika bangsa lain sedang berusaha membangun negaranya untuk dapat menjadi negara SUPER POWER yang disegani dan dihormati oleh bangsa lainnya, yang terjadi di Indonesia malah ramai-ramai orang berkorupsi membentuk negara SUPER CORRUPT.
Untuk
menyembuhkan penyakit korupsi yang demikian parah ini, akhirnya
datanglah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi. Kehadiran KPK dapat diibaratkan sebagai Dokter Spesialis
Korupsi dan sebagaimana layaknya seorang Dokter Spesialis, kemampuan
dan komitmennya pasti lebih unggul. Peralatan dan metode yang digunakan
pun tidak lagi menggunakan cara-cara konvensional, dan hasilnya boleh
dikatakan tidak terlalu mengecewakan, setidaknya bisa mengurangi beban
penderitaan sang pasien. Beberapa kasus yang telah disebutkan di atas,
diantaranya merupakan hasil diagnosis dan kerja keras dari KPK, sang
Dokter Spesialis Korupsi ini.
Mungkin
karena usianya relatif masih muda, langkah-langkah yang diambil sang
Dokter Spesialis Korupsi ini pun tampaknya belum bisa menjangkau seluruh
bagian tubuh, baru bagian-bagian tubuh tertentu saja. Andaikan Dokter
Spesialis Korupsi ini terus bergerak melakukan kiprahnya secara
konsisten, maka hampir bisa dipastikan ke depannya akan semakin banyak
ditemukan bagian-bagian tubuh yang terjangkiti penyakit, baik yang
berada di bagian kepala, perut, maupun telapak kaki, dan orang-orang
yang perlu dirawat pun akan semakin bertambah.
Seharusnya
pekerjaan mendiagnosis penyakit korupsi ini dilakukan oleh lembaga
Kejaksaan dan Kepolisian, namun kedua lembaga penegakan hukum ini
tampaknya sedang dirundung penyakit yang sama, bahkan diduga kondisinya
jauh lebih parah. Tidak sedikit kasus korupsi yang ditangani kedua
lembaga tersebut, bukannya menjadi sembuh tapi malah menjadi semakin
parah, karena bentuk dan metode pengobatan yang digunakannya menyimpang
dari prosedur seharusnya alias memberantas korupsi dengan cara korupsi lagi !
Bagi oknum jaksa atau polisi yang sudah terserang penyakit ini,
kehadiran KPK mungkin akan dianggap sebagai kompetitor yang telah
merebut lahan bisnisnya sekaligus juga ancaman bagi dirinya.
Tentunya
kita semua berharap, penyakit korupsi ini dapat segera sembuh secara
tuntas. Kita tidak menghendaki esok atau lusa ada orang lain yang
berucap: “TURUT BERDUKA CITA, TELAH BERPULANG KE RAHMATULLAH
SEBUAH NEGERI YANG BERNAMA INDONESIA”, MENINGGAL DISEBABKAN OLEH
PENYAKIT KORUPSI YANG TAK TEROBATI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar